Perdana Menteri Sudan Mengundurkan Diri di Tengah Makin Memanasnya Unjuk Rasa Anti Kudeta

Sudan - Perdana Menteri (PM) Sudan, Abdalla Hamdok yang berasal dari kalangan sipil, mengundurkan diri pada Minggu, dua bulan lebih setelah kudeta militer.

Pengunduran diri dilakukan setelah tindakan mematikan terhadap para pengunjuk rasa penentang kudeta. Kini, militer yang berkuasa penuh di negara tersebut.

Sudan berada di jalan menuju kekuasaan sipil yang rapuh sejak pemimpin otoriter Omar Al Bashir digulingkan pada 2019.

Negara ini tenggelam dalam kekacauan ketika pemimpin militer Jenderal Abdel Fattah al-Burhan melakukan kudeta pada 25 Oktober dan menangkap Hamdok.

Hamdok menjabat kembali pada 21 November dengan syarat janji menggelar pemilu pada pertengahan 2023, tapi media lokal melaporkan baru-baru ini, dia tidak berada di kantornya selama beberapa hari terakhir, memicu report terkait kemungkinan pengunduran dirinya.

"Saya telah berusaha yang terbaik untuk menghentikan negara ini tergelincir menuju bencana," jelas Hamdok pada Minggu malam dalam pidatonya yang disiarkan televisi pemerintah, dikutip dari AFP, Senin (3/1).

"Sudan sedang melalui titik berbahaya yang mengancam keselamatannya," lanjutnya.

Hamdok adalah wajah sipil yang mewakili transisi rapuh di negara tersebut, sementara Burhan merupakan pemimpin de facto setelah penggulingan Bashir.

Hamdok mengutip "fragmentasi pasukan politik dan konflik antara komponen (militer dan sipil) dalam transisi" dan mengatakan "terlepas dari segala yang telah dilakukan untuk mencapai sebuah konsensus, itu belum tercapai."

Unjuk rasa massal menentang kudeta terus berlanjut setelah Hamdok menduduki kembali jabatannya pada November, karena para demonstran tidak mempercayai Burhan dan janjinya untuk memimpin Sudan menjadi negara demokrasi penuh.

Para pengunjuk rasa juga menuduh kesepakatan untuk menduduki kembali Hamdok sebagai PM hanya bertujuan untuk memberikan legitimasi bagi para jenderal, yang mereka tuding berusaha melanjutkan rezim yang dibangun Bashir.

Ribuan pengunjuk rasa kembali turun ke jalan pada Minggu, kendati berhadapan dengan tembakan gas air mata dan pengerahan pasukan besar-besaran serta pemutusan saluran komunikasi. Mereka menuntut pemerintahan sipil.

Dalam unjuk rasa di dekat istana presiden di ibu kota Khartoum dan kota kembarnya, Ombudrman, mereka mengecam kudeta, menerikaan "kekuasaan untuk rakyat" dan menuntut militer kembali ke barak.

Komite Dokter pro demokrasi mengatakan pasukan keamanan membunuh tiga demonstran, termasuk salah satu ditembak di dada dan lainnya mengalami luka parah di kepala. Sejak unjuk rasa pada Oktober lalu, sedikitnya 57 pengunjuk rasa tewas sampai saat ini.

Pemerkosaan demonstran

Para aktivis menyampaikan di media sosial, 2022 akan menjadi tahun berlanjutnya perlawanan.

Mereka menuntut keadilan untuk mereka yang terbunuh sejak kudeta termasuk lebih dari 250 orang yang tewas selama unjuk rasa massal berbulan-bulan untuk menyingkirkan Omar al-Bashir.

Para aktivis juga mengutuk kekerasan seksual dalam unjuk rasa 19 Desember, di mana PBB mengatakan sedikitnya 13 perempuan dan anak perempuan menjadi korban pemerkosaan dan pemerkosaan massal.

Uni Eropa dan PBB menerbitkan pernyataan bersama mengutuk penggunaan kekerasan seksual "sebagai senjata untuk menyingkirkan perempuan dari demonstrasi dan membungkam suara mereka".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musibah Banjir Melanda Provinsi Jawa Barat, 3 Wilayah Banten Terendam Banjir

Pemerintah Israel Melaporkan Kasus Virus Corona Mutasi Varian Delta

Varian Omicron Sudah Masuk ke Indonesia, Beberapa Gejala yang Perlu di Ketahui